Rabu, 08 Januari 2014

TITIK KUNTA AWANGGA


ENDANG ADI SUTOMO, “ TITIK KUNTA AWANGA”

Menyimak karya Endang Adi Sutomo dalam pameran proses “ START LIGHT workshop & Exibition 2013” sekilas tak jauh berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Bisa dikatakan karya-karya Endang erat kaitanya dengan cerita pewayangan. Biasanya cerita tersebut dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini. Disamping itu juga Ia ingin mengajak apresiator untuk mengenal cerita epik yang lekat dengan kesan Hindu klasik melalui objek lukiskannya serta ornamen-ornamen dekoratif klasik khas pewayangan yang divisualkan kedalam sebuah karya lukis kaca.

Lahir di Cirebon, 7 Januari 1992. Sekarang Endang tercatat sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Rupa UPI Bandung. Pengalaman berpameran Endang diawali tahun 2011 di “Gatering Space” Cimahi, sebagai Juara 1 “Himasra Art Award” 2012 di Galeri popo Iskandar, “Art Edu Care #4” 2013 pameran seni rupa LPTK Se- Indonesia & Malaysia di Taman Budaya Surakarta (TBS), dan juara 3 “Himasra Art Award” 2013.

Wayang sudah menjadi bagian hidup Endang sejak kecil. Ini ditunjukan dengan kegemarannya membuat wayang dari bahan kardus. Endang mengenal cerita pewayangan dari membaca buku pewayangan.
Kegemarannya tersebut tak hanya dituangkan dalam bentuk wayang dari bahan kardus, akan tetapi dituangkan juga dalam bentuk karya lukis kaca. Ketertarikannya terhadap melukis di media kaca berawal saat Ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ia mengenal lebih jauh tentang seni lukis kaca dari guru SMAnya. Dimulai dengan membuat lukisan yang sederhana, sampai akhirnya Endang memutuskan untuk konsisten menuangkan gagasan-gagasannya dengan berkarya seni lukis pada media kaca.

Seni lukis kaca, diakui atau tidak, sebenarnya telah menjadi sebuah kenyataan sejarah, yang lahir dan merambah dibelahan dunia kita ini, taruhlah seperti berkembangnya lukis kaca di Italia, daratan China, Jepang, Iran, India dan termasuk di Indonesia. Konon sejak abad ke 17 Masehi, Lukisan Kaca telah dikenal di Cirebon, bersamaan dengan berkembanganya Agama Islam di Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu di Cirebon, Lukisan Kaca sangat terkenal sebagai media dakwah Islam yang berupa Lukisan Kaca Kaligrafi dan berupa Lukisan Kaca Wayang. Adapun pengaruh cerita wayang berasal dari pertunjukan wayang yang diperagakan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Kuatnya kepercayaan tokoh wayang yang baik, membuat seniman lukisan kaca selalu menampilkan tokoh seperti Kresna, Arjuna, Rama, Lesmana, dan lain-lain pada saat itu. Dewasa ini lukisan kaca tidak selalu menampilkan visual pewayangan saja, rupanya sekarang lukisan kaca hadir dengan rupa modern, sebut saja maestro lukis kaca yaitu Toto sunu yang terkenal dengan corak dekoratif modernnya. Dan seniman maestro Rastika yang konsisten dengan corak gaya dekoratif klasiknya. Tetapi disini Endang berusaha untuk mencari temuan teknik baru, walau penggayaan karya masih tergolong dekoratif klasik tetapi Endang mencoba untuk mengkombinasikan penggunaan dari segi alat dan bahan yang digunakan dalam kekaryaannya. Tentunya dengan menampilkan salah satu tokoh wayang yang akan mewakili gagasannya terhadap sub tema yang Ia pilih dengan tampilan visual karya yang berbeda dari karya sebelumnya.

Merujuk pada judul karyanya “Titik Kunta Awanga” dalam pameran proses ini, memiliki makna dari setiap asal katanya. Titik adalah sebuah pencapaian, pilihan atau pandang hidup seseorang. Kunta adalah nama sebuah senjata milik tokoh pewayangan Adipati Karna. Senjata tersebut memiliki simbolisasi terhadap kekuatan dalam hal pendidikan. Awangga adalah nama sebuah kerajaan yang disimbolisasikan dengan sebuah kekuasaan, kemasyarakatan atau kehidupan. Dari judul tersebut lebih menitik beratkan pada perwatakan tokoh antagonis yaitu Adipati Karna dalam cerita Mahabarata yang nantinya akan Endang tonjolkan dalam karya lukis kacanya kali ini. Interpretasinya terhadap tokoh Karna ini mengkritisi prilaku sebagian orang yang pada umumnya ketika merasa dirinya paling pintar dan berilmu tinggi, biasanya memiliki perasaan untuk ingin menguasai, baik dalam sebuah area masyarakat atau negara. Tapi mereka akan menggunakan ilmu tersebut malah ke arah kepentingannya sendiri. Seperti tokoh Adipati Karna yang menggunakan ilmunya untuk kepentingannya sendiri. Tentunya hal ini berkaitkan dengan pandangan Endang mengenai dimensi, idealisme dan egoisme sebagai fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Dalam beberapa konteks tak jarang mengambinghitamkan dunia pendidikan. Seperti pelaku korupsi, kekerasan, teroris yang ironisnya pelakunya adalah orang yang memiliki pendidikan yang tinggi dengan menyandang gelar-gelar tinggi pula. Jadi di manakah letak kesalahannya? Apakah pendidikanya? Atau pribadi itu sendiri? Disinilah Endang menjawabnya.

Dalam karya 100 cm x 100 cm, Endang Adi Sutomo memberikan makna kepada apresiator dengan objek-objek simbolisasi terhadap fenomena tersebut, Ia memberikan penekanan tokoh Adipati Karna dengan senjata kuntawijayandanu dilukiskannya tengah menghadap Ibunya dewi Kunti Nalibrata. Singkat cerita suatu hari Adipati Karna termenung dalam sebuah pilihan antara memilih pihak kurawa (antagonis) atau Dewi Kunti Ibunya dan para pandawa (protagonis) dikala meletusnya perang saudara (barathayuda). Sosok karna ini dari segi kepintaran dan pendidikan merupakan pahlawan yang memiliki sifat-sifat kompleks. Meskipun berada di pihak antagonis, namun Ia terkenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Tapi pada akhirnya Karna memihak para kurawa karena Duryudanalah musuh utama para Pandawa yang telah memberikan kedudukan, harga diri dan perlindungan disaat dihina para Pandawa dulu. Dari sisi inilah terdapat sebuah nilai intisari bahwasanya dari pendidikan yang setinggi apapun, namun dari ke egoan tidak akan bisa lepas, hanya sebuah pilihan yang harus kita tentukan mau kejalan yang mana, mau ke arah titik mana yang akan kita pilih dan kita tempuh. Endang beranggapan terkadang yang benar sekalipun kalau sudah melihat harga diri, dan godaan akan kedudukan, pangkat, harta, orang bisa lupa diri.

Disana juga Endang menambahkan perlambangan lainnya seperti :

Watak Adigang adigung dan Adiguna dilukiskan dengan gambar sebuah naga yang memiliki kepala, hidung dan tanduk sebagai ciri kijang; telinga dan gading sebagai ciri gajah; badan dan ekor sebagai ciri ular. Artinya bahwa manusia hendaknya tidak mengandalkan dan menyombongkan kelebihan yang dia miliki. (Adigang: Kekuatan; Adigung: Kekuasaan; Adiguna: Kepandaian). Disebutkan bahwa sifat Adigang diwakili oleh "Kijang", Adigung oleh gajah, dan Adiguna oleh ular. Adapun andalan kijang, gajah dan ular adalah: watak si kijang yang sombong dengan kecepatannya melompat. Sedangkan gajah mengandalkan tubuhnya yang tinggi besar. Kemudian ular dengan bisanya yang mematikan saat Ia menggigit. Hal itu diibaratkan sebagai watak pada Karna, umumnya realita sendiri bagi manusia di alam ini terkadang mempunyai sifat demikian, yang sepatutnya perlu kita hindari dan hilangkan dari kita sebagai manusia yang tahu akan pendidikan.

Simbolisasi tokoh rakyat jelata yang melambangkan sebuah tokoh rakyat kecil, atau petani yang pasrah. Kita lihat pada realita sendiri banyak rakyat kecil sebagai korban dari para pemimpin, pejabat, orang-orang pintar dengan kepandaiannya dan skill orang berpendidikan yang bisa menghasut. Mereka pandai bermain dari segi politiknya untuk kepentingan pribadinya sendiri. Sama halnya dengan tokoh Karna yang hanya mengutamakan kepentingannya dirinya.

Stilasi bentuk kursi yang berada di atas awan mega mendungan mengartikan bahwa kursi adalah sebuah simbol kedudukan, jabatan, pangkat, status, dll. Tentunya dicapai dengan pendidikan atau ilmu yang dimiliki manusia. Ini adalah sebagai wadah sebuah ujian seberapa kuatkah manusia untuk menjalankan amanah yang berpedoman Norma dan nilai. Sehingga tetap sadar dan bertingkah laku yang baik dan benar. Sehingga bisa membawa dirinya ke jalan yang selamat di dunia dan akhirat. Semakain tinggi orang berilmu maka semakin besar pula godaannya. Hal ini pernah dirasakan baik dari cerita pewayangan maupun relaita di dunia ini.

Yang terakhir adalah Kepala Kala yang bersayap sebagai perwatakan sisi-sisi buruk manusia, kesuraman, keegoisme, kemegahan, dan visual ini pula sebagai kesatuan dari adigang, adigung, dan adiguna.

Penulis: Dv'anti Weasly

DI UJUNG BUMI PRIANGAN


Bandung adalah kota priangan, yang mempunyai banyak sebutan, Bumi Siliwangi, Kota kembang, kota paris van java, juga identik dengan bentuk bangunan gedung sate nya sebagai sorotan keindahan kota nya. Namun perubahan begitu cepat, apa yang kita lihat fenomana nyata pada potrait Bandung sekarang sama yang dulu sudah berubah. Dimana kita bisa melihat akan keindahan warna warni bunga yang mekar, harum, suasana sejuk, susunan tata kota yang indah dan teratur kini sudah berubah. Perubahan yang membawa posisi kita untuk bisa sadar akan sebuah kenyamanan hidup, semakin banyaknya bangunan-bangunan sebagai sarana hiburan atau kebutuhan dasar, supermarket, mal, semua itu yang menjadi sorotan bagi pengunjung yang datang ke Bandung yang justru bisa membawa dampak kemacetan di jalan raya dan juga membuang sampah sembarangan.
 Hal lain yang menjadi pokok bahasan adalah menyempitnya lahan taman bermain bagi anak-anak. Sehingga anak-anak terkadang sulit untuk mencari lahan untuk bermain atau ruang gerak anak menjadi terbatas, dan seakan di era sekarang ini mainannya justru lebih ke dunia maya atau internet. Semua itu karena pusat keramaian kota menjadi sorotan para pendatang dan terkadang menjadi tempat tinggal pindahan dari desa ke kota. Melihat gambaran nyata tersebut mau pada posisi manakah diri kita, secara sadar, atau setengah sadar, mampukah membawa dampak yang baik untuk menuju Bandung yang seperti dulu” Indah, nyaman, dan bersih”. Sehingga bisa memberikan kenyamanan bagi sang bocah untuk bisa bermain dengan adanya tempat yang memungkinkan. Pada karya ini mengapa menggunakan warna hitam putih ”monokrom”, ini sebagai potrait gambaran tempo dulu, namun isi gambar dan suasana merupakan kejadian di masa sekarang. 
Penulis : Endang Adi Sutomo

ILMU JENDRA HAYUNINGRAT


Konsep karya ini mengambil dari cerita di zaman Ramayana yaitu adanya “Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat”. Kilas ceritanya yaitu berawal dari Batara Guru pemimpin negeri kayangan Indraloka yang telah memberikan Ilmu Sastra Jendra hayuningrat kepada seorang petapa yaitu Begawan Wisrawa, sebagai titipan untuk bisa dijaga dan dipelihara. Jika hendak diamalkan harus kepada orang yang benar-benar jiwa dan hatinya dalam keadaan bersih, dan orang tersebut harus menjalani laku untuk membersihkan diri dari semua segi godaan yang bersifat duniawi.
Ajaran Ilmu Sastra Jendra itu bagaikan seorang guru yang mengajari muridnya agar kelak memperoleh pengetahuan dan bisa digunakan dengan sebaiknya. Dalam arti luasnya adalah, barang siapa yang menyadari dan menaati benar makna yang terkandung di dalam ajaran itu akan dapat mengenal watak diri pribadi. Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan sungguh-sungguh secara jujur, di bawah pimpinan kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Yang sifat buruk jahat dilenyapkan dan yang bersifat baik dikembangkan sejauh mungkin. Kesemuanya di bawah pimpinan kebijaksanaan yang bersifat luhur dalam memumpuni makna kehidupan yang benar dan dijalankan sesuai dengan syariat ajaran yang baik.
Tetapi di zaman sekarang ini  banyak orang pintar dengan gelar, pangkat, dan jabatan yang ia peroleh melalui pendidikan, nmun dalam kenyataanya banyak perilaku dan tindakan yang melanggar seperti halnya para koruptor, terorisme, persaingan politik, yang kuat dia yang menang, dan sejauh dia berpendidikan namun sejauh pula memanfaatkan ilmu yang dimilikinya untuk tindakan merugikan orang lain.
Penulis : Endang Adi Sutomo

PANGTI DUALISME







Pangti Dualisme adalah panglima tertinggi yang dimana antara keduanya saling berbeda prinsip. Karya ini merupakan sebuah history yang terjadi di bulan Juni. 1 juni adalah hari lahirnya pancasila, 6 Juni 1901 merupakan tanggal lahirnya Presiden Soekarno, 6 Juni 1970 kondisi kesehatan Bung Karno makin memburuk, tepat hari ulang  tahunnya ke 69, 11 Juni 1970 Bung Karno dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), 21 Juni 1970 Presiden Soekarno telah meninggal dunia, dan di makamkan di Blitar, 8 Juni 1921 merupakan tanggal lahirnya Presiden Soeharto, dan 1 Juni 1940 Soeharto menjadi anggota KNIL angkatan perang Belanda di Hindia.
Karya ini mengenang peristiwa sejarah terdahulu, tentang perjalanan Pemimpin besar Revolusi “Sang Proklamator”, dan juga Sang Bapak Pembangunan “The Smiling Jendral”, beliau telah membuat sejarah bagi bangsa kita ini. Pada masa itu terjadi pergolakan perbedaan pemikiran antara ke dua tokoh tersebut seusainya peristiwa G30S/PKI yang telah menelan korban 7 perwira militer AD. Pemberontakan G30S/PKI melahirkan krisis politik hebat di Indonesia. Sikap Soekarno yang menolak pembubaran PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik. Lima bulan kemudian, dikeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret yang ditandatangani oleh Soekarno. Berawal dari Supersemar inilah kemudian terjadi lengsernya Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden. 
Penulis : Endang Adi Sutomo