Selasa, 30 Juni 2015

"Marcapada-Indraloka" Karya Endang Adi Sutomo Tahun 2013


Karya ini dibuat dua lukisan yaitu dengan perpaduan gaya lukis abstrak dengan sentuhan tradisi. Teknik berkarya lukis abstrak ini menggunakan teknik gabungan antara bentuk abstrak geometris, dan abstrak  ekspresionis. Dengan teknik pengulangan (Unit Repetition), a line, and painting. 
Tema yang digunakan yaitu tentang penggambaran Dunia Alam Semesta, yang berkaitan dengan kehidupan di Bumi. Kehidupan yang mencakup jagat alam rayaatau dalam dunia pewayangan dengan istilah “Alam Marcapada” (alam dunia) dengan “Alam Indraloka” (alam kahyangan), juga dengan sebutan tentang gambaran dunia mikrokosmos dan dunia makrokosmos.
Unsur rupa di dalam karya ini terdapat sentuhan teknik painting atau warna dengan ada bentuk gradasi, terdapat garis sebagai refleksi berkarya dan bidang seperti bentuk geometris, bentuk segitiga, lingkaran, dan bujur sangkar. Perpaduan berbagai teknik saya coba agar mendapat kesan seperti sebuah proses kejadian fenomena alam ini. Segala sesuatu yang muncul itu berawal dari sebuah proses, tatkala seperti budaya dan tradisi yang berkembang. Di sisi ini pula saya mencoba mengangkat seni lukis kaca yang dulu sebagai tradisi, namun kini bisa dicoba dengan ada keterpaduan tradisi dan seni modern. Itu semua sebagai naluri dan refleksi saya akan perasaan tentang gambaran kejadian proses alam ini, yang terbagi atas alam marcapada dan alam indraloka. Yang intinya semua perbedaan ruang itu sama-sama saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Begitu juga dengan budaya dan tradisi, entah itu dari mana berasal namun manusia sebagai makhluk hidup akan selalu merespon, mengkritisi yang toh pada hakikatnya itu adalah pencapaian adanya perubahan “proses hidup” baik ke ranah yang besar maupun kecil.
Penulis : Endang Adi Sutomo

Sabtu, 27 Juni 2015

Karya 7 : Di Pelaminan Impian


        Langit seakan berubah menjadi agak gelap untuk berganti malam hari, suasana di Palagan Bubat makin sepih, Sang Puteri telah pergi untuk selamanya. Pada kisah ini langit senja dan palagan bubat telah menjadi saksi bela pati Sang Puteri Ayu dari negeri Sunda Galuh. Melihat kabar kekacauan yang telah terjadi di Bubat, segeralah Prabu Hayam Wuruk datang, ia kaget dengan melihat mayat-mayat para prajurit serta senjata-senjata yang masih berserakan, dan darah yang berceceran dari tubuh para prajurit yang gugur.
       Sang Prabu seakan tak mampu melihat keadaan di sekitarnya, dan teringat akan Sang Puteri, ia segera menuju ke arah perkemahan Sang Puteri. Dari kejauhan betapa kagetnya, ternyata melihat sosok Sang Puteri yang berhiaskan mahkota dengan pakaian putih sedang dalam keadaan terkulai. Sang Prabu langsung mendekatinya, dan ternyata itu adalah mayat Puteri Citraresmi, calon prameswarinya. Sang Prabu langsung memeluknya, menangis, dan meratapi atas kepergiannya, ia tidak menyangka kalau Sang Puteri melakukan bunuh diri seperti para dayang-dayang lainnya. Hati Sang Prabu kini begitu sakit, ia merasa bersalah pada Maharaja Prabu Linggabuana, atas janjinya yang tidak ditepati, yang tujuannya untuk acara pernikahan di Majapahit, tetapi malah terjadi suatu pertumpahan darah.
         Penulis : Endang Adi Sutomo 

Karya 6 : Bela Pati Puteri Mahkota



       Langit tak selamanya terang, ketika diawali dengan terbitnya Sang fajar menyingsing, maka akan diakhiri dengan langit senja yang akan segera berganti malam. Setelah gugurnya Maharaja Prabu Linggabuana beserta pasukannya Bela mati, kemudian tepat dengan langit senja yang menjadi saksi ketika Sang Puteri Citraresmi melakukan bela pati, Sang Puteri segera menusukkan kujangnya pada bagian jantung, untuk segera menyusul ayahandanya. Suasanapun menjadi kelam, sunyi namun mencekam, jerit tangis para dayang-dayang yang masih hidup begitu sedih, karena ditinggal pergi Sang Puteri dan semua kerabatnya, tak lama kemudian segera para dayang-dayang ikut menyusul dengan melakukan bela pati.
     Tak habis pikir, niatnya datang ke Majapahit untuk acara pernikahan Sang Puteri Citraresmi dengan Prabu Hayam Wuruk, namun yang ada adalah bencana, bagaikan lautan darah yang terjadi di Palagan Bubat, Majapahit. Ternyata Sang Raja Majapahit tidak menepati janjinya, ia kalah dengan kemauan dan perintah dari Mahapatihnya. Semua di balik peristiwa terjadinya peperangan di Palagan Bubat adalah Mahapatih Gajah Mada, karena atas dasar untuk menepati sumpah Amukti Palapanya, untuk menyatukan seluruh kerajaan di Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit, yang kebetulan salah satunya adalah kerajaan Sunda Galuh.
           Penulis : Endang Adi Sutomo

Karya 5 : Lautan Darah Palagan Bubat


    Kabar berita dari Patih Anepaken setelah menemui Mahapatih Majapahit, telah disampaikan kepada Maharaja Prabu Linggabuana. Maharaja Prabu begitu marah dan kecewa dengan Prabu Hayam Wuruk, apalagi dengan perkataan Mahapatih Gajah Mada, yang akan menyerang Sunda Galuh jika tidak menyerahkan Sang Puteri sebagai upeti. Maharaja Prabu Linggabuana tidak akan menghendaki permintaan Mahapatih, ia akan tetap mempertahankan harga diri dan kedaulatan Sunda Galuh. Akhirnya terjadi perlawanan yang begitu tidak seimbang, peperanganpun terjadi, dari pihak Majapahit dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dengan pasukannya Bhayangkari, dan dari pihak Sunda Galuh dipimpin Maharaja Prabu Linggabuana beserta pasukannya Bela mati.
       Peperangan terjadi, saling melawan dan membunuh, seperti pada bentuk visual karya ke lima, yang menampilkan sosok Maharaja Prabu Linggabuana yang melawan Mahapatih Gajah Mada. Mereka bertarung dengan menggunakan senjatanya, Maharaja Prabu Linggabuana menggunakan kujang ciung, sedangkan Mahapatih Gajah Mada menggunakan senjata keris. Sebenarnya ini merupakan penyerangan bukan perang, karena pihak Majapahit lebih banyak ketimbang Sunda Galuh, dan bukan niat awal untuk berperang, akhirnya banyak korban yang mati dari pasukan Sunda Galuh.
        Sang Puteri begitu sedih melihat kekacauan di Bubat, ia menangisi peristiwa yang sedang terjadi sambil memegang kujang kecil yang menjadi teman sejatinya. Setelah melihat begitu banyak korban yang mati dari Sunda Galuh, tak sengaja iapun melihat ayahnya yang sedang bertarung melawan Mahapatih Gajah Mada, dan menyaksikan sendiri ayahandanya mati tertusuk kerisnya Mahapatih Gajah Mada. Semua darah berceceran dimana-mana, senjata bertebaran, Sang Puteri segera menemui ayahandanya dengan tangisan yang begitu mendalam. Akhirnya semua pasukan Sunda Galuh gugur di Bubat, dan Sang Puteri segera mempersiapkan untuk melakukan bela pati, sebagai bukti cinta kapada orang tuanya, dan keikhlasan membela negerinya.
         Penulis : Endang Adi Sutomo